Bagi pasangan suami istri yang bekerja, pengasuhan anak menjadi salah satu hal yang cukup membingungkan. Apalagi jika kedua-duanya bekerja dari pagi hingga malam, berangkat gelap pulang gelap.
Dititipkan ke pembantu khawatir salah asuh maka tak sedikit orang tua yang kemudian menitipkan anak-anaknya kepada orang tua atau mertua.
Sekilas memang orang tua yang dititipi anak tidaklah keberatan karena setiap kakek dan nenek pasti senang bersama cucu-cucunya.
Akan tetapi faktanya tidaklah selalu demikian apalagi tingkah anak-anak balita seringkali membutuhkan upaya lebih untuk menjaganya.
Malah sebagai orangtua anda akan mendapat dosa jika menitipkan anak kepada orangtua.
Berikut pandangan islam mengenai tindakan menitipkan anak kepada orang tua
Hukum menitipkan anak kepada orangtua
Menitipkan anak kepada orang tua bukanlah tindakan yang tepat apalagi mengasuh dan menjaga cucu, bukanlah pekerjaan ringan maka jika hal ini dilakukan justru menjadi kezaliman kepada orang tua.
Apakah bijak membebani orang tua yang sudah uzur dengan tanggung jawab yang membutuhkan kekuatan fisik dan mental seperti itu?
Orang tua yang sudah sepuh sudah seharusnya diperlakukan dengan baik dan lemah lembut. Sebagaimana yang dipesankan allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. al Israa’: 23)
Ayat ini menegaskan bahwa orang tua yang sudah berusia lanjut memerlukan perlakuan khusus, berkata-kata pun harus berhati-hati agar tidak melukai perasaan mereka.
Orangtua yang lanjut usia fisiknya tidak bagus
Orang lanjut usia pastinya mengalami berbagai perubahan mulai dari fisik hingga psikologi. Ada kalanya perubahan tersebut menjadikan mereka lebih sensitif dan mudah tersinggung.
Tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak semestinya ada pada pundak orang tuanya, bukan kakek dan neneknya ataupun guru-guru di sekolah. Inilah yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Kalian semua adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian. Pemimpin diantara manusia dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin dalam rumah tangga serta anak-anak suaminya dan dia akan ditanya tentang mereka. Budak adalah pemimpin bagi harta tuannya dan dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah bahwa kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud dengan pemimpin dalam hadits ini adalah orang yang dipercaya untuk mengurus apa yang dibawah kepemimpinannya dan juga akan melakukan hal-hal yang baik bagi yang dipimpinnya.
Jika ia lalai menjalankan kepercayaan itu maka ia akan bertanggung jawab terhadap kelalaiannya. Begitu juga anak-anak, pada hakikatnya dia adalah amanah yang allah percayakan kepada setiap orang tua.
ika orang tua melalaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya yang mengakibatkan terjadinya hal-hal yang kurang baik terhadap anaknya maka orang tualah yang akan dimintai pertanggung jawaban apalagi jika alasan melalaikan tanggung jawab tersebut hanya karena ingin mengejar karir atau ambisi pribadi.
Pentingnya peran orang tua dalam pendidikan anak
Digambarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Bapak dan ibunyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Bukhari)
Hadits nabi ini menggambarkan besarnya peran kedua orang tua dalam mengarahkan anak, bukan saja baik atau buruknya agama anak tapi juga bisa menjadikan anak pindah agama.
Memang biasanya nenek atau kakek pastilah senang dengan cucu-cucunya tapi jika sudah menitipkan sepanjang hari, setiap hari, setiap minggu maka ini namanya bukan lagi menyenangkan tapi sudah membebani, merepotkan, dan menyusahkan.
Oleh karena itu setiap orang tua hendaknya kembali memikirkan apa motifnya menitipkan anak-anak kepada kakek atau neneknya sebab jika sampai menyusahkan maka orang tua bisa terkena dua kesalahan :
1. Kesalahan karena mengabaikan kewajiban mendidik anak.
2. Kesalahan menganiaya orang tua (mertua).
Akan tetapi jika menitipkan anak-anak kepada kakek dan neneknya itu bersifat insidentil atau sesekali dan itu pun hanya sebentar sehingga tidak menyusahkan bahkan membuat senang hati kakek dan neneknya maka tentu saja hal ini bisa menjadi amal shalih karena bagian dari menyenangkan orang tua.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang kakek juga memiliki banyak momen kebersamaan dengan cucu-cucunya khususnya Hasan dan Husain putra dari Fatimah binti Muhammad dan ali bin abi Thalib bahkan momen-momen yang serius pun beliau tidak kuasa menahan dirinya untuk menggendong cucu-cucunya.
Diriwayatkan dari Buraidah radhiyallahu ‘anha ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah, datanglah Hasan dan Husain dengan berlari. Sebelum sampai di hadapan Sang Nabi, kedua cucu beliau itu terjatuh. Beliau pun menghentikan khutbahnya, mendatangi, dan menggendong, lalu meletakkan kedua cucunya di samping beliau berkhutbah. Kemudian beliau bersabda:
“Aku melihat kedua anak ini berjalan dan terjatuh” lanjut beliau “Dan aku tak bisa bersabar sampai aku memotong khutbahku dan mengangkat mereka.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban)
Keakraban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cucunya juga tampak dari hadits Salamah bin al akwa yang ketika itu menuntun tunggangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki tunggangannya itu bersama kedua cucunya Hasan dan Husain. Satu duduk di depan dan satunya lagi duduk di belakang beliau.
Bahkan senangnya hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama cucunya juga bisa dilihat dari kebersamaannya bersama cucu angkatnya Usamah bin Zaid yang merupakan putra dari anak angkatnya Zaid bin Haritsah. Usamah saat itu digendong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Hasan dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Ya Allah, cintailah keduanya. Sesungguhnya aku mencintai mereka berdua.”
Dalam riwayat lain, Imam Bukhari mencatat cucu angkatnya yang bernama Usamah bin Zaid pernah dipangku di salah satu paha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian Hasan yang datang belakangan dipangku di paha beliau yang lain. Sembari memeluk keduanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ya Allah, sayangilah keduanya. Sesungguhnya aku menyayangi mereka berdua.”
Dititipkan ke pembantu khawatir salah asuh maka tak sedikit orang tua yang kemudian menitipkan anak-anaknya kepada orang tua atau mertua.
Sekilas memang orang tua yang dititipi anak tidaklah keberatan karena setiap kakek dan nenek pasti senang bersama cucu-cucunya.
Akan tetapi faktanya tidaklah selalu demikian apalagi tingkah anak-anak balita seringkali membutuhkan upaya lebih untuk menjaganya.
Malah sebagai orangtua anda akan mendapat dosa jika menitipkan anak kepada orangtua.
Berikut pandangan islam mengenai tindakan menitipkan anak kepada orang tua
Hukum menitipkan anak kepada orangtua
Menitipkan anak kepada orang tua bukanlah tindakan yang tepat apalagi mengasuh dan menjaga cucu, bukanlah pekerjaan ringan maka jika hal ini dilakukan justru menjadi kezaliman kepada orang tua.
Apakah bijak membebani orang tua yang sudah uzur dengan tanggung jawab yang membutuhkan kekuatan fisik dan mental seperti itu?
Orang tua yang sudah sepuh sudah seharusnya diperlakukan dengan baik dan lemah lembut. Sebagaimana yang dipesankan allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. al Israa’: 23)
Ayat ini menegaskan bahwa orang tua yang sudah berusia lanjut memerlukan perlakuan khusus, berkata-kata pun harus berhati-hati agar tidak melukai perasaan mereka.
Orangtua yang lanjut usia fisiknya tidak bagus
Orang lanjut usia pastinya mengalami berbagai perubahan mulai dari fisik hingga psikologi. Ada kalanya perubahan tersebut menjadikan mereka lebih sensitif dan mudah tersinggung.
Tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak semestinya ada pada pundak orang tuanya, bukan kakek dan neneknya ataupun guru-guru di sekolah. Inilah yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Kalian semua adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian. Pemimpin diantara manusia dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin dalam rumah tangga serta anak-anak suaminya dan dia akan ditanya tentang mereka. Budak adalah pemimpin bagi harta tuannya dan dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah bahwa kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud dengan pemimpin dalam hadits ini adalah orang yang dipercaya untuk mengurus apa yang dibawah kepemimpinannya dan juga akan melakukan hal-hal yang baik bagi yang dipimpinnya.
Jika ia lalai menjalankan kepercayaan itu maka ia akan bertanggung jawab terhadap kelalaiannya. Begitu juga anak-anak, pada hakikatnya dia adalah amanah yang allah percayakan kepada setiap orang tua.
ika orang tua melalaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya yang mengakibatkan terjadinya hal-hal yang kurang baik terhadap anaknya maka orang tualah yang akan dimintai pertanggung jawaban apalagi jika alasan melalaikan tanggung jawab tersebut hanya karena ingin mengejar karir atau ambisi pribadi.
Pentingnya peran orang tua dalam pendidikan anak
Digambarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Bapak dan ibunyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Bukhari)
Hadits nabi ini menggambarkan besarnya peran kedua orang tua dalam mengarahkan anak, bukan saja baik atau buruknya agama anak tapi juga bisa menjadikan anak pindah agama.
Memang biasanya nenek atau kakek pastilah senang dengan cucu-cucunya tapi jika sudah menitipkan sepanjang hari, setiap hari, setiap minggu maka ini namanya bukan lagi menyenangkan tapi sudah membebani, merepotkan, dan menyusahkan.
Oleh karena itu setiap orang tua hendaknya kembali memikirkan apa motifnya menitipkan anak-anak kepada kakek atau neneknya sebab jika sampai menyusahkan maka orang tua bisa terkena dua kesalahan :
1. Kesalahan karena mengabaikan kewajiban mendidik anak.
2. Kesalahan menganiaya orang tua (mertua).
Akan tetapi jika menitipkan anak-anak kepada kakek dan neneknya itu bersifat insidentil atau sesekali dan itu pun hanya sebentar sehingga tidak menyusahkan bahkan membuat senang hati kakek dan neneknya maka tentu saja hal ini bisa menjadi amal shalih karena bagian dari menyenangkan orang tua.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang kakek juga memiliki banyak momen kebersamaan dengan cucu-cucunya khususnya Hasan dan Husain putra dari Fatimah binti Muhammad dan ali bin abi Thalib bahkan momen-momen yang serius pun beliau tidak kuasa menahan dirinya untuk menggendong cucu-cucunya.
Diriwayatkan dari Buraidah radhiyallahu ‘anha ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah, datanglah Hasan dan Husain dengan berlari. Sebelum sampai di hadapan Sang Nabi, kedua cucu beliau itu terjatuh. Beliau pun menghentikan khutbahnya, mendatangi, dan menggendong, lalu meletakkan kedua cucunya di samping beliau berkhutbah. Kemudian beliau bersabda:
“Aku melihat kedua anak ini berjalan dan terjatuh” lanjut beliau “Dan aku tak bisa bersabar sampai aku memotong khutbahku dan mengangkat mereka.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban)
Keakraban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cucunya juga tampak dari hadits Salamah bin al akwa yang ketika itu menuntun tunggangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki tunggangannya itu bersama kedua cucunya Hasan dan Husain. Satu duduk di depan dan satunya lagi duduk di belakang beliau.
Bahkan senangnya hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama cucunya juga bisa dilihat dari kebersamaannya bersama cucu angkatnya Usamah bin Zaid yang merupakan putra dari anak angkatnya Zaid bin Haritsah. Usamah saat itu digendong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Hasan dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Ya Allah, cintailah keduanya. Sesungguhnya aku mencintai mereka berdua.”
Dalam riwayat lain, Imam Bukhari mencatat cucu angkatnya yang bernama Usamah bin Zaid pernah dipangku di salah satu paha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian Hasan yang datang belakangan dipangku di paha beliau yang lain. Sembari memeluk keduanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ya Allah, sayangilah keduanya. Sesungguhnya aku menyayangi mereka berdua.”